Entri Populer

18 Oktober 2011

Ghibah yang Dibolehkan


Ghibah adalah tindakan menggunjing dan membicarakan kejelekan orang lain. Semua ulama sepakat bahwa perbuatan ghibah itu dilarang dan diharamkan. Ghibah akan menghabiskan nilai amal baik yang dimiliki layaknya api memakan kayu bakar.

Yah, menggunjing sealur dengan menjelekkan pihak lain, fitnah, bahkan diibaratakan dengan memakan bangkai saudara sendiri. Sebuah perbuatan yang sangat buruk akibatnya. Namun, ternyata dalam kondisi dan situasi tertentu, selalu ada pengecualian. Ada kondisi darurat yang pada gilirannya memberikan efek kelenturan hukum, hinga ghibah boleh dilakukan. Kondisi bagaimanakah itu?
Syaikh Salim Al-Hilali berkata, “Ketahuilah bahwasanya ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar, yang sesuai syari’at, yang tujuan tersebut tidak mungkin bisa dicapai kecuali dengan ghibah itu”.

Hal-hal yang membolehkan ghibah itu ada enam, sebagaimana disebutkan juga oleh An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar, sebagaimana tergabung dalam suatu syair yang dilansir dalam laman jacksite.wordpress.com/2010/10/06/ghibah/.
“Celaan bukanlah ghibah pada enam kelompok, yaitu pengadu; orang yang mengenalkan; orang yang memperingatkan; terhadap orang yang menampakkan kefasikan; peminta fatwa, dan orang yang mencari bantuan untuk menghilangkan kemungkaran”

Pengadu dan Pengaduan
Maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya, mengadu kepada sultan (penguasa) atau hakim dan aparat atau pihak terkait lainnya, yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh) berkata: “Si fulan telah menganiaya saya demikian dan demikian”. Dalilnya sebagaimana firman Allah, “Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiyaya”. [An-Nisa’ : 148].
Pengecualian yang terdapat dalam ayat ini menunjukkan bolehnya orang yang dizalimi mengghibahi orang yang menzaliminya. Menjelaskan berbagai hal kepada manusia tentang kezaliman yang telah dialaminya dari orang yang menzaliminya, dan dia mengeraskan suaranya dengan hal itu dan menampakkannya di tempat-tempat berkumpulnya manusia. Sama saja apakah dia nampakkan kepada orang-orang yang diharapkan membantunya, atau dia nampakkan kepada orang-orang yang dia tidak mengharapkan bantuan mereka.
Minta Bantuan untuk Mengubah Kemungkaran dan Mengembalikan Pelaku Kemaksiatan Kepada Kebenaran.

Maka seseorang (boleh) berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya bisa menghilangkan kemungkaran. Meminta bantuan kepada pihak yang diyakini mampu melakukan penghentian kemungkaran. Semisal, “Si fulan telah berbuat demikian, maka hentikanlah dia dari perbuatannya itu” dan yang selainnya.
Catatan yang penting adalah, hendaknya tujuannya adalah sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika niatnya tidak demikian maka hal tersebut tetap haram sebagaimana hukum asalnya.

Meminta Fatwa
Misalnya seseorang berkata kepada seorang mufti: “Bapakku telah berbuat zalim padaku”, atau “Saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah menzalimiku, apakah hukuman yang dia dapatkan? Dan bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kezaliman?”, dan yang semisalnya.
Tetapi yang yang lebih hati-hati dan lebih baik adalah hendaknya dia berkata (kepada si mufti): “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang atau seorang suami yang telah melakukan demikian ..?”. Maka dengan cara ini, tujuan bisa diperoleh tanpa harus menyebutkan orang tertentu, namun menyebutkan orang tertentu pun juga boleh sebagaimana dalam hadits Hindun.
“Dari ‘Aisyah berkata: Hindun, istri Abu Sofyan, berkata kepada Nabi SAW: “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak memberi belanja yang cukup untukku dan untuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil tanpa pengetahuannya”. Nabi SAW berkata : “Ambillah apa yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik” (jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit)”

Memperingatkan Kaum Muslimin Dari Kejelekan
Hal ini diantaranya adalah perbuatan Jarh wa ta’dil (celaan dan pujian terhadap seseorang) yang telah dilakukan oleh para Ahlul Hadits. Mereka berdalil dengan ijma’ tentang bolehnya, bahkan wajibnya hal ini. Karena para salaf ul ummat ini senantiasa menjarh (mencela) orang-orang yang berhak mendapatkannya, dalam rangka untuk menjaga keutuhan syari’at. Seperti perkataan ahlul hadits: “Si fulan pendusta”, “Si fulan lemah hafalannya”, “Si fulan munkarul hadits”, dan lain-lainnya.
Contoh yang lain yaitu mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nasehat. Dan tidak mengapa dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang dighibahi tersebut. Dalilnya sebagaimana hadits Fatimah.
“Fatimah binti Qois berkata: “Saya datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya”. Maka Nabi SAW berkata : “Adapun Mu’awiyah maka ia seorang miskin, dan adapun Abul Jahm maka ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya”. (Bukhori dan Muslim). Dan dalam riwayat yang lain di Muslim (no 1480) :”Adapun Abul Jahm maka ia tukang pukul para wanita (istri-istrinya)”.

Orang yang Terang-Terangan Menampakkan Kefasikannya
Seperti orang yang terang-terangan meminum khamr, mengambil harta manusia dengan zalim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan kejelekan-kejelekannya.
Sandarannya adalah: Aisyah berkata: “Seseorang datang minta izin kepada Nabi SAW, maka Nabi SAW bersabda: ”Izinkankanlah ia, ia adalah sejahat-jahat orang yang di tengah kaumnya”.
Namun tetap diharamkan menyebutkan aib-aibnya yang lain yang tidak ia nampakkan, kecuali ada sebab lain yang membolehkannya.

Untuk Pengenalan
Jika seseorang yang sudah terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’roj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan yang selainnya, maka boleh untuk disebutkan. Dan diharamkan menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara lain untuk untuk mengenali mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka), maka cara tersebut lebih baik.
Intinya adalah niat seseorang untuk melakukan ghibah juga menentukan standar pribadi dalam menilai dan menghukumi. Sebab kalau niatnya sudah jelek, buruk dan menghina, memang dirinya pribadi mampu membungkus dan menutupi di hadapan orang lain. Tetapi yakinlah bahwa Allah Maha Tahu apapun yang tersembunyi dan disembunyikan Allah SWT.
Maka sepandai-pandai tupai melompat akan jatuh juga, begitu pun sepandai-pandai bangkai busuk dibungkus pasti juga akan tercium baunya. Jadi, lakukan segalanya dengan niat baik dan kebaikan yang ingin disebarkan.